Sebuah kisah
saat di Papua
22 Agustus 2015, menjadi coretan karya pertama
kami, 7 Heroes terbangun dengan pukul
yang sudah menunjukkan 05.30 WIT sekitar itu, hari sabtu dan belum shalat
shubuh, (mohon maklum, baru pertama) hahaha. Dingin pagi itu membuat kami tidak
ada yang berani mengambil langkah bersih diri seperti halnya mandi yang kami
lakukan setiap pagi. Mungkin sekitar 11
derajat kami rasa suhu pagi itu. Selesai Shalat Subuh kami memasak dengan bahan
yang kami beli di Kota Wamena. Seadanya saja, yang penting makan bersama,
hehehe.
Sekitar
07.30 senyum mentari baru mulai tampak di ufuk timur Indonesia. Hangat sekali. Senyuman
khas pedalaman terukir diwajah seni pelosok Negeri. Manusia-manusia kecil
sekolah berseragam berjalan menyusuri jalanan sawah berbukit bersama pagi dan mentari. Terlihat seragam
merah putih tak bersepatu dengan sebilah kayu. Putih dengan ungu tua celana
pendeknya serta putih abu-abu berjalan dari arah yang berbeda dan tak jauh
berbeda dengan motif hitam kulit keriting rambutnya, Eitzz... hehehe. Seakan
menyambut kami yang baru pertama kali menghirup udara pagi menuju ladang
prestasi bangku dan kursi.
7
Heroes melangkahkan kaki menyusuri
jalanan Ilugwa penuh mimpi, mimpi dari anak pelosok Negeri yang belum tau entah
kemana nantinya mereka pergi berlari. Langkah awal kami menuju SMA N Ilugwa
yang tidak jauh dari BaseCamp tempat
kami tinggal. Hanya sekitar 120 an meter jarak tempat kerja kami selama
setahun, hehehe. Tiba di SMA yang bangunan temboknya berusia sekitar 1 tahun
dengan jumlah 2 unit (1 unit 3 ruangan 6x8 Meter kira-kira). Membuat kami
penasaran, dan semakin penasaran dengan jumlah murid yang hanya terlihat 5
kepala waktu itu.
Belum
jelas kami akan berbuat apa pada hari perdana disekolah yang seperti gedung tak
berpenghuni, tidak ada guru sama sekali. Maka hanya ada kami dan 5 anak
pedalaman tadi yang kemudian masuk ruangan belajar bersama.
Sebilah
Parang Anak Pedalaman
Setelahnya kami dari SMA hari perdana, kami lanjutkan
ukiran langkah kecil karya kami menuju SMP N Ilugwa sekitar 10.00 WIT. SMP Tak
jauh pula, dari basecamp kami hanya
berjarak 50 meter namun dengan arah yang berlawanan dengan SMA. Hanya terlihat
seorang bertopi dengan kulit dan berwajah khas Papua. Sebatang kayu
ditangannya, pria bertopi dengan senjata tongkat pendeknya. Adalah Pak
Lakianus, begitulah nama yang terucap dari suara beliau dengan bibir tebalnya, saat
berkenalan dengan kami, hehehe.
Satu
satunya guru yang ada. Bak penjaga villa di perbukitan pariwisata, aduh mamaa,
hahaha. Dengan wajah khas timurnya yang menurut kami “sedikit seram”, disapalah
anak-anak SMP yang sedang asik bermain bola dilapangan depan sekolah. Seperti
memang sudah menjadi suara alarm saat teriakan beliau menolehkan semua muka
hitam anak-anak pedalaman berseragam. Berkumpullah mereka di halaman sekolah
depan kantor dengan Pak Lakianus sebagai Instrukturnya. Kami pun semua disuruh
untuk memperkenalkan diri dengan jaket SM-3T yang masih melekat dibadan kami. Jumlah
siswa SMP N Ilugwa hampir sama dengan total kelas 1 di SMP Swasta di Jawa.
Uwauuwww....
amazing. Alangkah terkejutnya kami
ber-7. Hampir 90% dari mereka membawa sebilah parang dengan panjang kurang
lebih 1 meter. 70% menakutkan sisanya terlihat unik, hahaha. Menurut informasi dari angkatan sebelumnya yang mengajar di
SMP Ilugwa bahwa itu hal yang biasa dan setiap hari mereka pasti akan membawa
senjata tajam tanpa sarung. Sebagai alat untuk mencari kayu bakar sepulang
sekolah, untuk memasak dirumah bersama keluarga mereka. Sungguh-sungguh me-na-kut-kan,
upz... salah, me-nga-gum-kan, hihihi. J
Saya
bersyukur ada Pak Lakianus yang menemani. Mungkin akan berbeda cerita jika
hanya kami yang tiba-tiba datang menghampiri puluhan anak bersenjata tajam
tanpa keamanan yang menemani, hahaha. Dan berkumpullah kami semua di aula SMP
dengan ukuran sekitar 6x8 meter. Semakin mendekat semakin sedikit gemetar tubuh
ini merasa, hahaha. mereka melihat kami seperti melihat pertarungan King Khong
dengan Dinosaurus dalam filmnya, hahaha. Tatapan tajam muka khas Timur
Nusantara, terbuka mata seluas-luasnya, serta tanpa kerut diwajah. Seakan
membuat kami merasa seperti pahlawan yang turun menyelamatkan manusia kelaparan
di Negeri Ethiopia Afrika. Hahaha, Subhanallaah.
Lengkaplah
sudah. Berbekal buku lusuh, seragam pebuh debu, hitam kulit keriting rambut,
sebilah parang di tangan. Sikat kiri sikat kanan begitulh mereka memainkan
benda tajam bersahabat saat dijalanan pegunungan. Ayunannya seakan membersihkan
rerumputan ataupun ilalang panjang, jalur mereka berangkat serta pulang.
Hehehe, jangan takut teman, mereka tetap
tersenyum simpuh bersahabat. J
The Power of “KAKI”
Menapak diatas bumi timur pertiwi. Tak beralas, tak
pula bersepeda. Kekuatan langkah demi langkah menyusuri perbukitan bahkan
pegunungan. Bermodal buku lusuh kau tegar merengkuh ilmu.
Bumi
pedalaman memang memiliki kekuatan alam yang sungguh menawan dan mengagumkan.
Alam memberikan power semangat serta niat yang kuat untuk melangkahkan kaki
demi apapun yang ingin diraih.
Senyum
mengayun di wajah hitam berseri dengan keriting rambut berurai gelombang
melingkar-lingkar bak benang benang jahit yang kusut tak bisa lagi dipakai.
Terlihat setiap pagi dari jauh hinggah sampai di sekolah, dan sepertinya tanpa
lelah dengan nafas yang biasa saja. Hehehe, semua berjalan dari rumah hingga
kesekolah. Ada 1 jam, 2 jam, ada pula yang hampir 3 jam, tanpa sepeda, tanpa bekal
makan dan minum mereka. Everyday, 2
jam berarti 4 jam berjalan kaki, pulang dan pergi. Tak terkecuali. SD, SMP, SMA
semua sama.
Tak
jarang pula siswa yang meminta ijin tidak masuk saat sekolah, mereka datang
hanya untuk mengantar surat ijin ke sekolah dengan perjalanan yang memakan
waktu seperti pertandingan sepakbola. Hanya kertas selembar yang dilipat dan
saku celana bagian belakang sebagai tempat. Mereka berjalan dengan tanpa keluh
kesah dirasa, lelah jiwa maupun raga. Karena memang itulah kehidupan mereka.
Dan sudah terbiasa.
Suatu
hari, Elki Walela. Siswa SMA kelas 2 tiba-tiba datang pagi saat mentari masih
tersenyum riang kehangatan, datang ke basecamp
untuk meminta ijin tidak masuk karena ada duka (ada orang yang meninggal)
di anggota keluarganya. Dengan rasa ingin tahu saya, seberapa jauhkah hingga
mereka tetap meminta ijin meski kemudian pulang kembali.
“Rumah
kamu jauh dari sini (dari basecamp)”
tanya saya.
“Ah,
tidak pak guru, hanya sekitar 2 jam saja saya jalan kaki” sahutnya.
Kuarahkan
pandanganku ke bawah, kulihat kaki yang hitam pekat tak terlihat otot yang
menggumpal serta tak ada sandal ataupun sepatu yang melekat. Tak pula terlihat
merasa seperti malas meminta ijin, Subhanallah.
Terdapat
pula siswa yang tak beralas kaki. Artinya telapak kaki mereka langsung
menyentuh bumi. Bukan maksud mereka anak-anak nakal yang sok unjuk diri, namun
tidak ada uang untuk membeli. Terlihat kuku-kuku kaki yang sudah panjang dengan
gumpalan tanah diujungnya. Kekurangan tak menghambat keinginan meraih impian
meraih ilmu dan harapan perubahan. J
Original Game
Kehidupan alam yang masih jauh dari jangkauan
teknologi dan industri. Ilugwa menyuguhkan keunikan hiburan anak-anak
pedalaman. Mungkin 15 tahun yang lalu permainan anak-anak pedesaan seperti baru
terlihat disini dan masih bertahan saat ini, atau mungkin akan sampai nanti.
Berikut permainan-permainan yang sering dilakukan oleh anak-anak bumi Ilugwa.
a.
Seruling
bambu, hanya sepotong bambu dengan panjang sekitar 15 cm berdiamete lubang
dalam 1,5 cm. Dengan salah satu bagian ujungnya masih tertutup. Hanya lubang
sebelahnya yang menjadi sumber bunyi saat ditiup dari arah samping dengan
posisi bambu berdiri, ujung lubang menenpel di bibir bagian bawah. Tiuplah,
mereka pasti suka. J
b.
Engkle,
permainan garis kotak-kotak di tanah dengan batu atau pecahan genting sebagai
peluru pelempar memasuki kotak yang jadi sasaran. Berjumlah 6 kotak berjajar
rapi dengan luas total 1,5 x 1 meter. Dimainkan dengan cara mengawali lemparan
batu ke kotak paling awal, salah satu kaki diangkat dan kaki satunya mendorong
batu ke kotak selanjutnya hingga sampai dikotak terakhir. Ingat, saat kakimu
meloncat sambil mendorong batu jangan sampai mengenai garis, jika mengenai
garis jangan harap bisa cepat menang. J
c.
Tongkat
mobil, permainan yang satu ini terlihat hanya dimainkan oleh kaum adam kecil.
Pagi, siang, sore dijalanan. Sebatang kayu ukuran tongkat pramuka, ada yang
lebih pendek. Tergantung yang memainkan, anak SD, SMP ataukah anak SMA. Dengan
ujung batang yang dipasangi potongan katu seukuran 20 cm. Sehingga akan
membentuk hurut T. Terdapat pula 2 potongan sandal yang bebrbentuk seperti roda
berdiameter sekitar 10 cm. Terpasang di masing-masing ujung batang yang kecil.
Dimainkan dengan cara mendorong tongkat sehingga ujung tongkat beroda akan
seperti merasa menyetir mobil kata mereka. J
d.
Batu
lima, batu-batu kecil (kerikil) seperti yang dipakai adonan membuat pondasi
gedung berjumlah lima dan dimainkan oleh kaum hawa biasanya. Karena tidak
terlihat kaum adam memainkannya. Bermain sambil duduk, lempar pelan ke tanah
dan ambil satu, lempar keatas kemudian ambil satu kerikil (kerikil di tangan)
trus tangkap hasil lemparan saat masih belum jatuh. Berlanjut hingga batu habis
dan posisi batu ditangan semua saat lemparan yang terakhir, batu yang dilempar
saat lemparan terakhir berjumlah 4. Ada yang jatuh saat melempar berarti harus
mengulang dari awal. Ingat, jangan terlalu tinggi saat melempar. J
e.
Egrang,
berjalan dengan menaiki 2 bambu seukuran yang diinginkan dengan pijakan
dimasing-masing bambunya sebagai tumpuan kaki saat naik. Masing-masing kaki
menaiki bambu yang dipegang dengan tangan. Tangan kanan memegang dan kaki kanan
menaiki bambu yang kanan. Begitu juga yang kiri. Berjalanlah dengan seimbang,
dan nikmati bersama teman. J
Senyum
Ramah Riang Pedalaman
Bertemu anak-anak sekolah everyday membuat kami semakin dekat dengan keunikan sosial yang
semakin nyaman di tempat mengabdi. Semua manusia yang kami jumpai selalu
memberikan salam, “selamat pagi” saat pagi, “selamat siang” saat siang dan
begitulah setiap hari. Tatapan muka hitam manis yang selalu ikhlas tersenyum
tanpa pernah absent. Pun anak-anak sekolah yang “se-la-lu” menyapa, bukan saja
saat bertemu dijalan, pun saat kami nongkrong di teras basecamp dari kejauhan mereka sudah mengucapkan salam dengan
senyuman khas pedalaman, ikhlas dan tanpa rekayasa, karena memang itulah
adanya.
Senyuman
kebaikan selalu terpancar disekolah saat kami dalam kondisi mengajar dikelas.
Disela-sela pelajaran sering saya menikmati keindahan muka yang alami
memperlihatkan gigi putihnya yang sedikit kekuningan. Menjawab pertanyaan,
bertanya, atau hanya sekedar berpendapat 2 kata, senyuman terbuka itu tak
pernah lupa. Seakan sudah mendarah daging dalam jiwa putra putri Ilugwa, hehehe.
Balaslah dengan senyuman maka mereka akan semakin melebarkan senyuman bahkan
hingga bersuara riang tertawa. Unik dan semakin asik.
Banyak
keyunikan cerita anak-anak yang masih tersirat di Ilugwa dan akan terus
menerus, mungkin sampai nanti hingga akhir usia bumi. J
Amazing Laptop!
Kehidupan pedalaman dengan teknologi bak ilmu
matematika dan biolog yang jauh dari korelasi. Modernisasi yang hanya mungkin
10% mereka ketahui malah membuat kedamaian serta ketentraman hutan timur ini. Handpohne, TAB, komputer, laptop dan
internet seakan menjadi barang langka dijumpai disini.
Ceritanya
saya mengajar TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) di SMA N Ilugwa. SMA
yang hanya ada teman-teman SM-3T setiap harinya dalam kelas belajar mengajar,
hehehe. Entah, dimanakah pahlawan tanpa tanda jasa yang mendidik putra-putri
bangsa ini berada. Sekolah Negeri pedalaman mereka biarkan begitu saja dalam
alam keindahan. Sarana sekolah yang terlihat hanya setumpukbuku pelajaran
berbasis KTSP di kantor sekolah menjadi mediator satu-satunya dalam semua mata
pelajaran. Tidak ada perpustakaan, hanya kantorlah tempat yang menjadi stay and talk everydays.
Kelas
1 setiap kamis dan kelas 3 setiap jum’at menjadi siswa TIK bersama pak guru
Lion yang ganteng alias cakep ini, gua sendiri, hahaha. Jangan heran ketika TIK
SMA yang seharusnya materi Desain Grafis menjadi materi perkenalan TIK dan
Mincrosoft office. Bukan kami meremehkan kemampuan merekan, namun itulah yang
mereka awali untuk mengetahui TIK yang sepertinya materi baru bagi mereka.
Sering saya mengulang-ulang menggambar unit komputer dan laptop di papan tulis
sebagai pengetahuan mereka terhadap perangkat tersebut.
Suatu
hari saya menjadwalkan materi praktik TIK dengan laptop saya dan teman-teman
yang saya pinjam demi aplikasi ilmu untuk pengetahuan mereka tentang TIK.
Subhanallah, mereka seperti melihat film pertarungan KingKhong dengan
Dinosaurus yang dimenangkan oleh Kingkhong dengan merobek mulut dinosaurus
diakhir pertarungan, hahaha. Dengan tarikan nafas yang dalam ditambah mata yang
sepertinya tidak berkedip melihat 3 buah laptop tersusun rapi di meja depan
kelas. Ada yang tersenyum dengan gigi putih kekuningan sedikit terlihat, ada
pula yang menepuk-nepuk pundak teman sebangkunya dengan sedikit kegirangan.
Saking
senangnya dan mungkin mereka belum pernah memakai barang yunik langka di
pedalaman seperti ini, mereka menekan huruf-huruf keybboard serta mengeklik mouse
secara keras dengan jari-jari yang masih kaku, sedikit gemetar pula, hahaha.
Hanya jari telunjuk yang mereka fungsikan saat menari diatas keybboard, bukan mereka sombong unjuk
diri, namun itu memang dari ilmu mereka sendiri untuk mengawali, hehehe. Itu
pun hanya jari tangan kanan saja yang digunakan, tangan kiri diam. Karena takut
melakukan kesalahan saat menekan. Hahaha. Ingat, jangan marah, tetap
tersenyumlah untuk mereka.
ANAK-ANAK PEDALAMAN
Menari bersama angin dan mentari
Berjalan serta berlari diatas bumi
Ilahi
Bersuara bahasa tingkat tinggi
Cendrawasih
Nikmati hari-hari bersama kawan
sejati
Menengok mengukir raut senyum asli
Menyapa pagi, siang, sore,
berhari-hari
Bermain di surga tanpa modernisasi
Rukun, damai, sentosa tanpa
provokasi teknologi
Goyangkan parang pedalaman aman di
tangan
Bersihkan ilalang penghalang jalanan
pergi serta pulang
Langkahkan kaki penuh semangat kekuatan
Menggapai mimpi penuh harapan
perubahan posi+ive kehidupan
2015
Sahabatmu
Lion :)